Iklan Adsense

Tuesday, March 5, 2024

Catatan Indrapura tentang Brunei

Sebuah catatan sejarah Indrapura tentang Brunei Darussalam


Menurut keterangan sejarah, Brunei[82]  yang diberitakan berasal dari kota Varunai atau Baruna yang artinya orang laut merupakan salah satu kerajaan pelabuhan tertua di Asia Tenggara. Berawal dari kerajaan Hindu yang punya hubungan sejarah dengan Cina, Sriwijaya, Majapahit, dan Malaka. Wilayah  Brunei pada akhir abad ke 15 M  pernah meliputi  Kalimantan dan sebagian Filipina.
Kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan pada pertengahan abad ke l5 M, ketika Raja Awang Alak Betatar masuk Islam setelah menikahi seorang putri muslimah Malaka. Sultan pertama itu kemudian bergelar Sultan Muhammadsyah.[83]  Gelar ini jelas sama dengan gelar-gelar kesultanan yang diwarisi dan dipakai oleh kesultanan Kerajaan Indrapura.
 Adakah hal ini dapat membuktikan bahwa antara bekas kesultanan  kerajaan Indrapura di Pesisir Selatan Sumatera Barat sekarang, ternyata memiliki tali hubungan silaturrahim yang sangat dekat sekali dengan Sulthan Muhammadsyah yang menjadi Sulthan yang pertama negeri Brunei Darussalam sebagai sapieh balahan, kuduang karatan, sanak sudaro, anak kemenakan, kaum-kaum yang seketurunan bertali darah atau  bertali sako ?
Sementara Khalifah Islam satu-satunya yang menyandang gelar Sultan Muhammadsyah adalah Khalifatul Alam Daulat Sultan Jamalul Alam Sri Maharajo Dirajo Muhammadsyah, yang berkedudukan awal di Kesultanan Indrapura, yang sekarang merupakan salah satu nagari dalam Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat . Dari manakah awalnya maka gelar-gelar martabat kebesaran Sultan-Sultan ini bisa menyebar di Nusantara ini ?             
Seperti juga ditandai oleh perjalanan sejarahnya, bahwa pada abad-abad berikutnya negeri itu kerap terancam penguasaan petualang-petualang, rombongan-rombongan penjelajah, dan kaum- kaum pengelana dari Eropa, terutama Spanyol dan Portugis, yang kemudian diikuti oleh Inggeris  seperti juga Indrapura, Bayang, Salido sampai ke Tarusan di Pesisir Selatan mengalami ancaman yang sama, bahkan seluruh wilayah pantai di pesisir barat Sumatera tidak luput dari incarannya.
2. Tentang seorang Raja Sutra
Sementara itu, Raja Sutra  (Dewang Bonang Sutowano) kakak kandung Tuanku Maharaja Sakti yang tidak mau duduk memangku jabatan sebagai Raja Alam Minangkabau, dan lebih suka mengembara sampai ke Siak, Kuantan, bahkan sampai menyeberang ke Malaka,  Serawak dan lain-lainnya. Kemudian diikuti oleh salah seorang putra adiknya, seperti sejarah dan salasilah Tambo rajo-Rajo Minangkabau telah mencatatnya.
Bahwa pada tahun 1390 M seorang bangsawan Minangkabau bernama Raja Bagindo berkelana sampai ke Sulu dan Mindanao. Gelar Raja Bagindo kelak diwarisi oleh kemenakannya, adalah anak kandung Tuangku Maharaja Sakti Daulat Tanjung Bungo di Bukit Batu Patah,  dan adik Putri Panjang Rambut yang kelak berjulukan Bundo Kanduang. Namun siapakah Raja Baginda yang berkelana itu?
Raja Sutra ini  dalam perantauannya kemudian  menikah pula  dengan seorang putri  dan melahirkan seorang anak  yang hanya dikenal dengan nama Puti Alang Puni, karena sang putri bersama ibunya tinggal di Alang Puni[84] (sebutan untuk Kalimantan bagian utara, yang sekarang dikenal sebagai  Brunei Darussalam, dan putri itu disebut Putri Brunei).
Puti Alang Puni  (Putri Brunei) kemudian kawin  dengan seorang Syaikhul Islam yang datang dari negeri Arab.  Penduduk Minangkabau pada zamannya hanya menjuluki beliau dengan Tuanku Syaikh Panjang Janggut saja, karena juga pernah datang ke Minangkabau, Pagaruyung dan Indrapura.[85]
Awang Muhammad, dalam tulisannya memberikan  penjelasan  sebagai berikut :
Ada juga menafsirkan Awang Alak Betatar telah memeluk Islam setelah baginda berkahwin dengan Putri Johor seperti yang tersebut dalam Salasilah Raja-Raja Brunei itu dimaksudkan Kerajaan Johor yang berpindah dari Melaka pada T.M. 1511. Jika diteliti kandungan Salasilah Raja-Raja Brunei itu, jelas sekali Johor itu maksudnya adalah Singapura Tua. Sebutan Sang Nila Utama yang menjadi Raja Johor yang dimaksudkan itu telah jelas membuktikan Kerajaan Johor pada masa itu ialah Kerajaan Singapura. Oleh kerana Johor sentiasa di mulut-mulut orang pada masa itu maka penulis mencatatkan nama Johor, sedangkan yang sebenarnya negeri yang dimaksudkan ialah Singapura Tua (Temasik).[86]
Seterusnya dijelaskan oleh berita itu bahwa,
Raffles pernah juga menyebut dalam buku History of Java perihal Raja Chermin yang datang dari tanah seberang untuk mengislamkan Raja Majapahit. Menurut riwayat itu keberangkatan Raja Chermin ke Jawa 21 tahun sebelum wafatnya Maulana Malik Ibrahim. Jika Maulana Malik Ibrahim itu wafat pada T.M. 1419 bererti Raja Chermin itu sudah Islam sebelum T.M. 1400. Raja Chermin yang disebutkan oleh Raffles itu ternyata Raja Brunei kerana Negeri Brunei pada zaman itu termasyhur dengan sebutan “Chermin” di kalangan orang-orang Jawa.[87]
Jika dibandingkan tarikh riwayat ini dengan susunan Salasilah Raja-Raja Brunei yang sama masanya dengan pergi berlayarnya  Raja Sutra  dan sebelum meninggalnya Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim di tahun l4l9 M, maka akan kita dapati masa itu  bahwa berdasarkan riwayat Cina disebutkan dalam tahun l370 M Raja Puni (Brunei) bernama Mahamosha (Muhammadsyah, Muhammad Shah). Sementara raja yang masuk Islam itu adalah Awang Alak Betatar, yang mengganti namanya menjadi Sultan Muhammadsyah.
Ini berarti Islam telah menjadi agama resmi kerajaan Brunei saat itu. Kemudian disambung oleh Sultan Syarif Ali  (l375 – l432 M) yang datang ke Brunei dan kawin dengan Putri Brunei lebih kurang pada tahun 1375 M itu, sehingga ia diangkat sebagai Sultan yang mendampingi istrinya.
Dapat diduga bahwa Syarif Ali sebagai pengembang Islam datang ke Brunei sebelum tahun l375 M  yang berarti tidak begitu jauh berbeda dengan masuk Islamnya Awang Alak Betatar, dan menjadi Sultan pertama Brunei, yang kemudian digantikan oleh Syarif Ali sebagai Sultan kedua. Karena jasa-jasanya mengembangkan Islam dan hubungan perkawinan dengan Putri Brunei,  menjadi menantu Sultan. Kemudian diangkat menjadi Sultan menggantikan ayah mertuanya Sultan Ahmad.
Dengan demikian, pada awal Brunei menjadi kesultanan Islam, sampai kepada Sultan Bolkiah (Sultan Brunei yang kelima) ada empat orang Sultan yang terdahulu, yaitu Sultan Muhammadsyah, Sultan Ahmad, Sultan Sharif Ali, dan Sultan Sulaiman.   Sultan Syarif Ali inilah yang dikenal juga dengan gelar Sultan Barakat. [88]
2.     Tentang hubungan Syaikh Maghribi dengan Minangkabau dan Kesultanan Indrapura.
Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim dalam membina pengikut-pengikutnya telah mendirikan sebuah pesantren besar di Gresik dan berusaha menyebarkan agama Islam sampai ke Majapahit.  Beliau dikenal sebagai ulama pertama dikalangan Wali Songo sebagai  pengembang agama Islam  di pulau Jawa.[89]
Walaupun kemudian ternyata  Tuanku Syaikh Maghribi belum berhasil mengajak raja beserta kalangan keluarga istana Majapahit, seperti yang telah dilakukannya di Indrapura, Bayang, Pariaman, dan Minangkabau Pagaruyung [90]   namun berhasil menyiarkan Islam di kalangan penduduk Majapahit.
Beliau wafat di Gresik  pada l2 bulan Rabi’ul Awal tahun hijrah 882, bertepatan dengan tahun l4l9 M. Makam beliau terletak  di Gapura Wetan, Leran , Gresik. Sampai sekarang masih terkenal sebagai makam yang dimuliakan dan ramai mendapat kunjungan peziarah dari mana-mana.
Pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim tersebut dijumpai tulisan berukir dalam bahasa Arab. Oleh Dr. A. Rinkers secara teliti dan hati-hati telah dapat menterjemahkan isi prasasti  yang tertulis dengan bahasa Arab pada batu nisan tersebut, dan telah diungkapkan secara gamblang dalam sebuah risalah berjudul  De Oudste Mohammedaansche Inscripsi op Java nm.  De Grafsteen Leran. Isi tulisan tersebut  kurang lebih berarti :
“Inilah makam Almarhum Amaghfur, yang mengharap Rahmat Allah, yasng menjadi kebanggaan para Pangeran, yang menjadi penegak para Sultan dan para Pembesar negara. Yang menjadi penolong para fakir miskin. Yang telah bahagia dan syahid. Yang cemerlang dan menjadi lambang negara dan agama. Allah melimpahkan segala Rahmat dan Ridho-Nya, serta memasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 822 H”.[91]
Kedatangan Tuanku Syaikh Maghribi ke Majapahit, pada  awalnya  adalah dalam rangka memenuhi saran dan  permintaan   Raja Cermin  seorang karib kerabat dekat beliau untuk  berdakwah agama Islam ke Majapahit. Ada yang berpendapat bahwa ulama besar itu berasal dari negeri Cermin (Chermen di India)  dan ada pula yang mengatakan dari Gujarat. Sehingga berkesimpulan bahwa negeri Cermin itu adalah  terletak di India.
Bahkan ada yang menduga bahwa  Tuanku Syaikh Maghribi Maulana Malik Ibrahim ini berasal dari Malabar, datang bersama-sama dengan kemenakannya Sultan dari Kedah Malaka yang oleh beberapa ahli sejarah disebutkan  bernama Sultan Mahmud Syadat Alam
Raja Cermin ini diberitakan membawa seorang putrinya yang mengikuti perjalanan ayahandanya berkelana di Pulau Jawa dalam upaya penyebaran agama Islam, namun meninggal dunia akibat wabah penyakit yang dideritanya  pada tahun l391 M. dan dimakamkan di Leran. Setelah mengalami musibah putrinya itu Raja Cermin kemudian berangkat berlayar meninggalkan Gresik.[92] (RM.Sachlan Adysaputra, dalam Panji Masyarakat, No. 272).
Dimanakah negeri Cermin yang Rajanya amat dekat hubungannya dengan  beliau  Syaikh Maghribi itu ?
Adakah hubungan negeri Raja Cermin itu dengan negeri: Camin Toran[93] (Cermin Terang), Cermin Terus, (Camin Taruih) di Tanah Sangiang Ranah Indrapura yang terletak diantara kaki gunung Talang dengan gunung Kerinci? Atau dengan sebuah negeri yang dahulunya pernah bernama Bayan Toran di hulu muara Batang Bayang, atau Pantai Cermin di pesisir barat Sumatera Barat sekarang?

Monday, March 4, 2024

Mengenal Ruh dan Nafs

 

Secara umum orang mengenal yang namanya ruh atau roh. Ruh atau roh adalah sebutan dalam bentuk tunggal. Sedangkan dalam jamaknya disebut arwah, sehingga ada sebutan pula alam ruh atau alam arwah. Dalam masyarakat sering disebut arwah gentayangan dan sebagainya, maksudnya adalah penampakan dari jin atau makhluk halus. Sedangkan mengenai nafs, kosakata ini jarang menjadi ucapan sehari-hari, yang sehari disebut adalah nafas, walaupun artinya lain, nafas adalah nyawa yang kadang dirancukan sebagai jiwa. Sementara kosakata jiwa yang berasal dari bahasa Sanskerta memang identik dengan ruh yang berasal dari bahasa Arab.

Secara harfiyah, kosakata ruh itu berdekatan dengan akar kata untuk kosakata angin (riyah), aroma (riih), semangat atau rahmat (rauh) dan juga "menghela nafas" (rehat). Dalam ini ada kemiripan makna antara ruh dengan nafas atau nyawa, hingga nafs atau jiwa.

Friday, March 1, 2024

Perbesanan Malayu, Sunda dan Jawa

Berikut hubungan keluarga antara Raja Malayu (Malayapura, Dharmasraya), Raja Sunda dan Raja Jawa menurut naskah Rajya Rajya i Nusantara yang digagas penulisannya oleh Pangeran Wangsakerta yang bergelar Abdul Kamil Nasaruddin, soerang Panembahan Cirebon pada abad 17:
Raja Malayu Srimat Trailokya Maulibhusana Warmadewa mempunyai 3 orang anak yaitu Srimat Tribhuwana Raja Mauli Warmadewa, Dara Kencana dan Dara Puspa. 

Sewaktu Srimat Trailokya masih hidup, Srimat Tribhuwana diangkat menjadi yuwaraja atau raja Muda di Malayapura. 

Sementara itu Dara Kencana diambil jadi istri oleh Sri Kertanegara, raja Singosari. Dan Dara Puspa diambil istri oleh Prabu Ragasuci, raja Sunda. 

Dari pernikahan Sri Kertanegara dengan Dara Kencana, mereka dikarunia dua orang putri yaitu Dara Jingga dan Dara Petak. Kelak Dara Jingga dinikahkan dengan Sri Wiswarupa Kumara putra Srimat Tribhuwana Raja. 

Begitu pula Dara Puspa dengan suaminya Prabu Ragasuci putra Prabu Dharmasiksa. 

Prabu Ragasuci bersaudara dg Prabu Jayagiri (Jayadharma). Keduanya adalah putra Prabu Dharmasiksa dengan putri Suwarnabhumi (Minangkabau) keturunan Maharaja Sangramawijaya Uttunggawarman, raja Sriwijaya.

Prabu Ragasuci yang kelak jadi raja Sunda menggantikan ayahnya. 

Prabu Jayadharma kemudian menikah dengan Dewi Singsamurti (Dyah Lembu Tal) yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Sangrama Wijaya atau Rahadyan Wijaya yang kemudian menjadi raja Majapahit pertama. 

Jadi raja Majapahit pertama masih berdarah Suwarnabhumi (Minang/ Malayu) 

Data hubungan keluarga dari kitab Rajya-Rajya ini berlawanan sekali dengan informasi dari prasasti Amogapasa, kitab Negarakertagama dan kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa arca Amogapasa merupakan hadiah dari raja Singosari untuk raja Malayu, Dara Jingga dan Dara Petak dua putri raja Malayu dan juga tentang ekspedisi Pamalayu yang sebenarnya tidak ada. 

Hubungan Keluarga Raja Malayu, Raja Sunda dan Raja Jawa

Berikut hubungan keluarga antara Raja Malayu (Malayapura, Dharmasraya), Raja Sunda dan Raja Jawa menurut naskah Rajya Rajya i Nusantara yang digagas penulisannya oleh Pangeran Wangsakerta yang bergelar Abdul Kamil Nasaruddin, soerang Panembahan Cirebon pada abad 17:
Raja Malayu Srimat Trailokya Maulibhusana Warmadewa mempunyai 3 orang anak yaitu Srimat Tribhuwana Raja Mauli Warmadewa, Dara Kencana dan Dara Puspa. 

Sewaktu Srimat Trailokya masih hidup, Srimat Tribhuwana diangkat menjadi yuwaraja atau raja Muda di Malayapura. 

Sementara itu Dara Kencana diambil jadi istri oleh Sri Kertanegara, raja Singosari. Dan Dara Puspa diambil istri oleh Prabu Ragasuci, raja Sunda. 

Dari pernikahan Sri Kertanegara dengan Dara Kencana, mereka dikarunia dua orang putri yaitu Dara Jingga dan Dara Petak. Kelak Dara Jingga dinikahkan dengan Sri Wiswarupa Kumara putra Srimat Tribhuwana Raja. 

Begitu pula Dara Puspa dengan suaminya Prabu Ragasuci putra Prabu Dharmasiksa. 

Prabu Ragasuci bersaudara dg Prabu Jayagiri (Jayadharma). Keduanya adalah putra Prabu Dharmasiksa dengan putri Suwarnabhumi (Minangkabau) keturunan Maharaja Sangramawijaya Uttunggawarman, raja Sriwijaya.

Prabu Ragasuci yang kelak jadi raja Sunda menggantikan ayahnya. 

Prabu Jayadharma kemudian menikah dengan Dewi Singsamurti (Dyah Lembu Tal) yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Sangrama Wijaya  atau Rahadyan Wijaya yang kemudian menjadi raja Majapahit pertama. 

Jadi raja Majapahit pertama masih berdarah Suwarnabhumi (Minang/ Malayu) 

Data hubungan keluarga dari kitab Rajya-Rajya ini berlawanan sekali dengan informasi dari prasasti Amogapasa, kitab Negarakertagama dan kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa arca Amogapasa merupakan hadiah dari raja Singosari untuk raja Malayu, Dara Jingga dan Dara Petak dua putri raja Malayu dan juga tentang ekspedisi Pamalayu yang sebenarnya tidak ada.